Motivasi dibalik nilai TOEFL 600++

Tamat SMA dengan nilai pas-pasan dan pengetahuan yang terbatas, saya tahu benar lulus di jurusan favorit di PTN di Aceh bukanlah sebuah hal yang mudah. Apalagi lulus di universitas besar di Indonesia seperti UI, ITB dan UGM. Berbekal kemampuan seadanya, Alhamdulilah saya bisa lulus di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Syiah Kuala. Sebenarnya saya tidak begitu puas lulus dipilihan ketiga ini. Butuh waktu satu semester untuk saya berdamai dengan diri sendiri, sebelum akhirnya saya  yakin disinilah tempat saya. Semester pertama terasa begitu berat, seringkali saya bolos kuliah, bahkan IPK semester I saya tidak menyentuh angka 3.00.

Suatu hari, di semester dua, saya bertemu dengan kakak kelas di jurusan Bahasa Inggris. Kami terpaut hampir 5 tahun. Beliau bekerja di Pusat Bahasa Unsyiah. Diantara kakak kelas yang saya temui, hanya beliau yang begitu antusias dengan Bahasa Inggris. Sejak saat itu saya mulai sering ke ruang komputer Pusat Bahasa untuk belajar bahasa Inggris. Dulu ada ruang komputer di Pusat Bahasa, lengkap dengan berbagai program belajar bahasa Inggris terinstall di komputer. Semua mahasiswa Unsyiah boleh datang dan memanfaatkan fasilitas tersebut.

TOEFL_listening

Karena sering bertengger di ruang komputer Pusat Bahasa, suatu hari salah satu dosen favorit saya, Kepala Pusat Bahasa kala itu, mengatakan pada saya, “You sudah dapat nilai TOEFL 550? Kalau you sudah punya TOEFL 550, you bisa ke luar negeri!” Saya hanya bisa mengernyitkan kening. Saya bingung bukan karena belum mendapatkan nilai TOEFL 550, tapi karena saya tidak tahu apa itu TOEFL dan kenapa harus memiliki nilai segitu untuk ke luar negeri.

Karena kata-kata beliau, saya mulai mencari informasi mengenai TOEFL dan  membeli berbagai buku TOEFL di toko-toko buku. “Luar Negeri” adalah cita-cita yang sudah saya dambakan sejak saya SMA dulu. Saya begitu termotivasi untuk ke luar negeri oleh guru bahasa Inggris saya yang pernah belajar di Australia. Belajar TOEFL ternyata membawa saya lebih dekat dengan kakak kelas saya yang bekerja di Pusat Bahasa tersebut. Dia menyarankan saya ikut tes TOEFL untuk mengetahui nilai awal saya. Pertama kali tes, nilai TOEFL saya tidak mencapai 500. Padahal kala itu saya sudah semester 3.

toefpbt

Sejak saat itu saya bagai mendapatkan obsesi baru, mengejar nilai TOEFL 550. Saya dan kakak kelas tersebut, setuju untuk saling bersaing mendapatkan nilai TOEFL tertinggi. Kami seringkali menyalip satu sama lain. Tepatnya beliau lebih sering menyalip saya. Berbulan-bulan saya berteman dengan buku TOEFL sampai akhirnya saya bisa mendapatkan nilai TOEFL ITP 613. Saya ingat benar saat itu, melihat angka 613, seolah-olah tidak percaya itu adalah nilai saya. Itu adalah kali ke-4 saya mengikuti test ITP. Nilai ini bukanlah yang tertinggi. Banyak orang lain yang memegang nilai yang jauh lebih tinggi. Tapi nilai ini adalah bentuk pencapaian saya yang patut saya hargai.

Ya, persaingan kami berdualah yang membuat saya semangat mengejar nilai lebih tinggi, kata-kata dosen sayalah yang membuat saya begitu serius belajar TOEFL, dan motivasi guru sayalah yang membuat saya ingin ke luar negeri. Dan yang paling penting, dukungan orang tua saya yang menyemangati saya agar tetap bertahan di Pendidikan Bahasa Inggris, dan melakukan yang terbaik di jurusan yang saya geluti. Ah, andai saja saya tidak mendengarkan nasihat orang tua dan menuruti kata hati saya untuk pindah jurusan. Mungkin saya tidak kenal dengan TOEFL dan jauh dari yang namanya “luar negeri.” Karena ada do’a orang tua atas setiap nasihat yang mereka berikan dan ada hikmah dibalik keputusan Allah. Alhamdulillah, terimakasih Ayah, Ibu, Bapak-Ibu Guru, Dosen, dan teman-teman semuanya.

Leave a Comment